INTPF – Mendorong Kerjasama Energi Terbarukan Indonesia-Belanda

Laporan Kegiatan Simposium INTPF – final

Link youtube: https://youtu.be/AtnuPcrxIkc

Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) Belanda bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag dan Energy Academy Indonesia (ECADIN) mengadakan acara Indonesia-the Netherlands Technology Partnership Forum (INTPF) Symposium. Acara ini dilaksanakan secara online pada Selasa, 1 Desember 2020 dan mengambil tema energi terbarukan. Acara ini dihadiri lebih dari 190 peserta dari kalangan industri, akademisi, dan instansi pemerintah dari Indonesia maupun Belanda. Acara dibuka oleh Bapak Raymon Frediansyah (Ketua IA-ITB Belanda), Bapak Mayerfas (Duta Besar RI untuk Belanda) dan Bapak Ikmal Lukman (Deputi Promosi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)) serta dilanjutkan dengan pidato kunci oleh Bapak Dadan Kusdiana (Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)).

Acara ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan kenegaraan Raja Belanda ke Indonesia pada bulan Maret 2020 dan bertujuan mewujudkan kerjasama investasi dan inovasi teknologi antara Indonesia dan di Belanda. Dalam acara ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara PT Quadran Energi Rekayasa dengan Pondera Development BV dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga angin.

Dalam pidato kuncinya, Dirjen EBTKE memaparkan potensi energi terbarukan di Indonesia. Per tahunnya, lebih dari 1,5 miliar dollar AS investasi di bidang energi baru terbarukan (EBT) masuk ke Indonesia. Ke depan, Pemerintah berencana memprioritaskan energi surya yang menjadi semakin menarik biaya yang semakin murah. Juga ditekankan komitmen pemerintah dalam mereduksi emisi karbon sesuai target dalam Paris Agreement dengan cara mensubstitusi dan mengonversi sumber energi primer, serta meningkatkan penggunaan EBT.

Dalam diskusi panel disoroti sejumlah tantangan dalam realisasi kerja sama Indonesia-Belanda dalam pengembangan EBT di Indonesia. Dari aspek kebijakan, salah satu penghambat utama adalah belum selesainya revisi regulasi EBT di Indonesia. Akibatnya sulit untuk mencapai kesepakatan bisnis tanpa adanya payung hukum yang jelas. Selain itu dibutuhkan pemahaman terhadap kerangka kebijakan yang tepat, proses perizinan yang berlaku, serta kejelasan peran dan tanggung jawab dari masing-masing instansi di Indonesia. Persyaratan penggunaan komponen lokal juga menjadi salah satu isu yang didiskusikan.

Tantangan lain yang menjadi pembahasan adalah dari sisi pendanaan. Proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia, terutama proyek skala kecil, sulit mendapat akses pendanaan. Hal ini dikarenakan risikonya yang tinggi serta biaya investasi per unit yang lebih mahal dibanding proyek dengan skala lebih besar. Karena itu, dibutuhkan berbagai inovasi model bisnis dan sumber-sumber pendanaan baru serta dukungan insentif dari pemerintah bagi para pelaku bisnis dan lembaga pendanaan yang ingin terlibat dalam proyek energi terbarukan di Indonesia.

Selain itu dibahas beberapa pembelajaran dalam kemitraan di bidang energi terbarukan. Pertama, perlunya kesamaan visi dan komitmen serta kompetensi dan jejaring yang saling melengkapi antara mitra bisnis. Kedua, keterlibatan dan dukungan dari kebijakan pemerintah, peningkatan kapasitas pelaku, dan mekanisme pasar yang sehat. Ketiga, energi terbarukan di Indonesia masih cenderung baru dan perkembangannya belum banyak diketahui, sehingga dibutuhkan kesabaran dalam merealisasikan program-program energi terbarukan di Indonesia. INTPF Symposium ini juga merupakan pre-event INTPF yang puncak acaranya akan diadakan di 2021.

Narahubung: Rihan Handaulah (Ketua INTPF 2021)

+31 6 41643816 || intpf@iaitb.nl

Peluncuran Buku dan Peringatan 100 tahun ITB dari Belanda

Link to youtube: https://youtu.be/xYNXsecWNaM

Memperingati 100 tahun dimulainya pendidikan tinggi teknik di Indonesia dengan pendirian ITB, Ikatan Alumni (IA-ITB) Belanda menerbitkan buku “Satu Abad Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia: Menuju Masa Depan Indonesia”. Peluncuran buku ini dilakukan pada peringatan ulang tahun ke-100 ITB yang dilaksanakan 4 Juli kemarin secara daring (online). Acara ini dihadiri lebih dari 80 orang alumni ITB di Belanda dan dibuka oleh Bapak Dr. Ridwan Djamaluddin selaku ketua umum PP IA-ITB. 

Buku ini merupakan kompilasi tulisan dari para alumni ITB yang kini berkarya di Belanda mengenai refleksi pengalaman dan pandangan ke depan mengenai peran ITB dan kiprah para alumninya. Diharapkan buku ini menjadi sumbangsih pemikiran yang dapat makin mengokohkan posisi ITB sebagai universitas teknik terkemuka di tanah air dan bersaing di tingkat global. Buku ini dalam waktu dekat akan dapat diakses oleh publik di Google Books/ Play Store.

Selain peluncuran buku, acara tersebut juga menghadirkan sejarawan dari Technische Universiteit (TU) Delft, Abel Streefland, yang mempresentasikan hasil penelitiannya dalam 3 tahun terakhir mengenai sejarah ITB. Pada awalnya, Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kemudian menjadi ITB tak terlepas dari praktek politik etis kolonialisme yang membutuhkan peran lebih luas pribumi sebagai insinyur teknik. Untuk tujuan itu, diimpor lah para guru besar dari TU Delft ke Bandung. 

Abel Streefland menemukan dokumentasi yang menarik tentang kiprah Soekarno selama di ITB saat dipanggil menghadap oleh Prof Jan Klopper, rektor pertama ITB (TH Bandoeng). Dia meminta pada Soekarno untuk memilih antara menjadi seorang insinyur atau politisi, sebab tidak mungkin menjadi keduanya. Si mahasiswa yang dikenal brilian dari jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur itu pun menjawab: akan menjadi seorang insinyur dan tidak akan terlibat dalam politik. 

Soekarno lalu menepati janji itu hingga tepat sebelum kelulusannya. Dia datang ke Prof Klopper dan mengatakan “Kesulitan yang dihadapi rakyatku membawaku pada kesadaran untuk tidak bisa tidak terlibat dalam politik!”. Soekarno lalu memohon untuk dibebaskan dari janjinya untuk tidak ikut politik. Ucapan Soekarno ini sungguh meninggalkan kesan yang mendalam bagi Sang Professor. Menurutnya, “Anak muda sering membuat janji dan tidak ditepatinya, tapi tidak bagi Soekarno yang meminta dulu pada saya agar dia dilepaskan dari janjinya yang sebelumnya”. 

Demikianlah alumni ITB yang ada di Belanda memperingati 100 tahun almamaternya dengan menggali sejarah, merefleksikannya, lalu menatap ke depan untuk selalu relevan menjawab tantangan dan mensyukuri kesempatan memperoleh pendidikan teknik di ITB. Agar selalu bisa berbakti, sebagaimana motto yang diajarkan selama mahasiswa, untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Sebab pendidikan yang baik bukan hanya menghasilkan lulusan yang cakap dan terampil saja, tetapi juga memiliki kesadaran untuk berkontribusi bagi masyakarat dan kemanusian, dengan memegang teguh nilai-nilai ilmu pengetahuan.

Rendahnya Kontribusi Riset, Apa Yang Bisa Dilakukan?

Link Youtube: https://youtu.be/XdB7vsar76s

(Utrecht, 20 Januari 2020) – Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) Belanda mengadakan kegiatan diskusi pada hari Sabtu 18 Januari 2020. Bertempat di Gedung KBRI Den Haag, diskusi yang mengambil tema “Riset Industri dan Perguruan Tinggi: Belajar Dari Eropa Untuk Indonesia” dibuka dengan keynote speech oleh Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Bapak H.E. I Gusti Agung Wesaka Puja.


Diskusi tersebut menyoroti masih rendahnya kontribusi aktivitas riset dalam struktur perekonomian, yaitu hanya 0.25 % dari PDB. Sementara di negara-negara eropa sudah mencapai 2 %. Rendahnya dana riset ini tercermin dari minimnya partsipasi pelaku industry (sektor privat) dalam aktivitas riset yang hanya 10 % dari keseluruhan dana riset, sementara sisanya dilakukan oleh institusi-institusi publik. Berbanding terbalik dengan Eropa dimana kontribusi industry dalam aktivitas riset adalah 66 %. Selain jumlah peneliti di Indonesia sangat minim, hanya sebesar 1 peneliti per 1.000 penduduk. Beberapa usulan mencuat dari diskusi tersebut untuk menjembatani gap di atas.

Pertama, perlunya aturan yang jelas dan komitmen terhadap pemisahan fungsi pendidikan tinggi universitas dan pendidikan tinggi vokasi. Tiap tahunnya presentasi lulusan pendidikan vokasi di Eropa ialah 70%, berbanding 30% lulusan universitas. Hal ini sejalan dengan penyerapan SDM pada industri yg juga lebih banyak membutuhkan tenaga teknis dibanding kebutuhan tenaga riset. Di tanah air walau
institusi vokasi berjumlah 70% dari keseluruhan institusi pendidikan tinggi, namun justru lulusan pendidikan universitas menguasai pasar lapangan kerja. Akibatnya masyarakat lebih tertarik memasuki pendidikan universitas dibanding pendidikan vokasi.

Kedua, perlu ada terobosan bagaimana membuat sistem remunerasi yang lebih baik bagi peneliti. Selama ini skema pembiayaan dan remunerasi peneliti di tanah air belum memungkinkan peneliti mendapatkan keleluasaan untuk fokus pada kerja penelitian. Selain besarannya yang kurang memberikan insentif, aktivitas penelitian masih terlalu banyak disibukan dengan pekerjaan administratif.

Ketiga, perlu regulasi yang bias menjembatani sinergi antara para stakeholder, khususnya transfer teknologi antara peneliti dengan industri/ pasar. Sehingga setiap pihak bisa fokus pada peran dan kontribusinya. Salah satu contohnya ialah institusi riset publik seperti universitas, LIPI, maupun BPPT menjalankan agenda riset di wilayah riset mendasar yang bersifat jangka Panjang dan berorientasi knowledge/ science based research. Sementara industry lebih menitikberatkan perannya pada inovasi dan teknologi baru yg bermanfaat untuk org banyak dan bernilai komersial, bersifat jangka pendek/ menengah dan berorientasi commercially/market based research.

Acara diskusi ini juga merupakan salah satu bagian dari rangkaian peringatan Dies Natalis ITB ke-100 yang puncak acaranya akan diadakan di bulan Juli 2020.